Minggu, 15 Maret 2015

Suriah sudah Remuk, 4 Tahun Perang Kehancuran setara Perang Dunia Pertama





BESOK genap empat tahun krisis berkecamuk di Syria, sebuah republik di tepi Laut Mediterania tersebut.


Amerika Serikat (AS) dan sekutu Barat serta Arab tidak segalak dahulu lagi dalam memerangi rezim Presiden Bashar al-Assad.


Serangan udara yang disusul operasi militer dan pelatihan terhadap oposisi pun hanya membuat situasi Syria kian runyam. Lagi-lagi, warga tidak berdosa yang menjadi korban.


Durasi krisis Syria sudah setara dengan Perang Dunia (PD) I. Jumlah korban tewas dalam krisis yang memicu banyak pertumpahan darah itu juga sudah sebanding dengan perang dunia.


Sayangnya, hingga detik ini pun, tidak ada solusi berarti bagi Syria. Dewan Keamanan (DK) PBB melalui resolusi-resolusinya juga gagal menyelesaikan konflik yang terjadi. Bahkan, DK PBB yang merupakan badan paling digdaya dalam organisasi terbesar dunia pun tidak mampu menciptakan situasi yang kondusif bagi badan-badan kemanusiaan untuk menjalankan misi humanis mereka.


Sabtu (14/3) Jean-Herve Bradol dari Centre for Reflection on Humanitarian Knowledge and Action mengatakan hampir putus asa menghadapi krisis Syria.


’’Jika dibandingkan dengan Syria, Somalia dan Afghanistan tampak jauh lebih mudah dihadapi,’’ papar aktivis asal Prancis tersebut. Menurut dia, ancaman bahaya dan tingkat keruwetan konflik di Syria adalah yang tertinggi di dunia.


Seiring dengan berjalannya waktu, krisis Syria sudah tidak lagi menjadi palagan bagi Barat dan Arab melawan rezim Assad. Tetapi, ada konflik kepentingan di sana.


Kini Barat dan Arab berusaha menguasai Syria hanya demi mengungguli pengaruh Iran dan Rusia di kawasan Timur Tengah. Karena itu, jumlah korban dan krisis kemanusiaan di Syria tidak lagi menjadi perhatian mereka.


Kesibukan Barat dan Arab menumbangkan pengaruh Iran dan Rusia membuat Syria kian terabaikan. Rakyat sipil yang kian terpuruk dan tidak kunjung berubahnya peta politik dalam pemerintahan menjadi semacam undangan bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.


Salah satu di antaranya, militan Negara Islam alias Islamic State (IS) yang juga dikenal dengan akronim lamanya, ISIS atau ISIL.


Kehadiran ISIS pun, mau tidak mau, mengubah prioritas masyarakat internasional. Sebab, secara kasat mata, kelompok yang lahir dari organisasi militan Al Qaeda itulah kini menjadi musuh di Syria.


Karena itu, lenyaplah pemahaman bahwa Assad adalah ancaman yang harus segera dilengserkan. Dengan demikian, sementara dan bisa jadi selamanya rakyat Syria harus bertahan di bawah rezim Assad.


’’Barat punya peranan yang cukup besar dalam menciptakan monster yang kini mereka perangi bersama. Sebab, mereka telah mengingkari revolusi sipil Syria dan membiarkan rezim (Assad) tetap berkuasa,’’ terang Jean-Pierre Filiu, mantan diplomat sekaligus pakar gerakan jihad radikal sebagaimana dilansir The Guardian.


Untuk lebih memahami Syria, dia bahkan sempat melawat ke negeri yang tercabik perang itu.


Dosen senior pada London School of Economics itu mengatakan bahwa Barat telah menyia-nyiakan kesempatan mereka di Syria. Presiden Barack Obama, misalnya. Kebijakan Washington melancarkan serangan udara ke Syria pada Agustus 2013 tidak berkontribusi apa pun selain memorakporandakan negeri tersebut. Pada awal 2014, Barat juga tidak bisa memanfaatkan momentum terusirnya ISIS dari Aleppo.


Keprihatinan Filiu juga dirasakan ketua delapan badan PBB. Jumat waktu setempat (13/3) World Health Organization (WHO) bersama World Food Programme (WFP), United Nations Children’s Fund (Unicef), dan lima badan yang lain merilis pernyataan bersama yang berisi seruan bagi para pemimpin dunia untuk kembali berfokus ke Syria.


Caranya, menyingkirkan kepentingan-kepentingan pribadi mereka dan menyatukan misi atas Syria. Yakni, menyudahi krisis dan menyelamatkan warga sipil. (AP/AFP/theguardian)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar