Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mempemblokiran 22 situs islam yang dituding radikal.
Kemenkominfo mengaku dapat surat dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk segera memblokir situs-situs tersebut.
BNPT juga membenarkan telah mengirim data sejumlah situs Islam yang selanjutnya diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatikan (Kominfo).
Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT Brigadir Jenderal Arief Dharmawan menuding konten situs tersebut memuat tulisan yang dianggap menghasut dan menyebar kebencian.
"Berita seharusnya disortir. Yang menyebar kebencian, yang menyebut Presiden thogut, kafir, dan menyebarkan propaganda, menyebar kebencian, masa semua dimuat?" katanya.
Arief menolak jika dikatakan telah membelenggu kebebasan pers maupun kebebasan berekspresi.
"Kalau ada berita yang dijadikan tempat untuk mencaci maki orang lain, mengatakan bahwa Jokowi kafir, thogut, pemerintah seperti itulah, apakah itu boleh?" ujar Arief.
Daftar 19 situs yang diminta untuk diblokir antara lain:
- arrahmah.com,
- voa-islam.com,
- ghur4ba.blogspot.com,
- panjimas.com,
- thoriquna.com,
- dakwatuna.com,
- kafilahmujahid.com,
- an-najah.net,
- muslimdaily.net,
- hidayatullah.com,
- salam-online.com,
- aqlislamiccenter.com,
- kiblat.net,
- dakwahmedia.com,
- muqawamah.com,
- lasdipo.com,
- gemaislam.com,
- eramuslim.com dan
- daulahislam.com
Sewenang-wenang
Juru bicara sekaligus Pemred Hidayatullah, Mahladi, menuturkan Kominfo tak dapat sewenang-wenang memblokir tanpa melakukan klarifikasi.
"Kami ingin dikembalikan pada posisi semula, tidak diblokir. Ini ada kesalahpahaman bahwa kami dituding memanas-manasi masyarakat untuk bergabung ke ISIS," ujar Mahladi kepada awak media di Gedung Kominfo, Jakarta, Selasa (31/3).
Mahladi bersama sedikitnya lima pemimpin redaksi situs lainnya, saat ini tengah menemui pihak kementerian untuk mempertanyakan alasan pemblokiran.
"Sejak dari awal, kami belum pernah dipersoalkan. Setelah 20 puluh tahun, kami diblokir secara tiba-tiba, itu janggal. Kami merasa seperti itu. Tidak pernah dipanggil sebelumnya," ujarnya.
Ia menuturkan, situs Hidayatullah sejak berdiri pada tahun 1996, belum melakukan perubahan baik dari sisi tampilan maupun konten. Mahladi mengklaim, medianya hanya mengajak berislam secara benar.
"Kami ingin menanyakan alasannya. Kami tidak tahu apakah Kominfo sudah melakukan investigasi ke kami atau belum," tuturnya.
Pemimpin redaksi Salam Online, Ibnu Salmani, ketika audiensi dengan pihak kementerian, menegaskan pihaknya tidak pernah memberitakan ISIS.
"Saya pastikan, dari total 19 media, tidak ada yang mendukung ISIS. Kami tidak memberitakan ISIS. Apa itu ISIS? Tidak penting bagi kami," ujar Ibnu di Gedung Kominfo, Jakarta, Selasa (31/3). Dia berpendapat tudingan tersebut justru tak berlandaskan fakta.
"Kalau disebut radikal bisa dilihat. Media-media kami merujuk BBC, Antara, Reuters, AFP dan CNN. Apakah media-media yang saya sebutkan itu radikal? Saya kira tidak," ujarnya.
Hal senada juga diutarakan wartawan Gema Islam yang situsnya turut menjadi daftar media radikal menurut versi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Media kami tidak pernah mendukung ISIS. Kami kontra terhadap ISIS dan tidak mendukung mengajarkan radikalisme," ujarnya dalam diskusi.
Terlebih, pihaknya menuturkan, Gema Islam juga mengadakan pengajian akbar dengan menghadirkan seorang ulama yang dikenal anti ISIS. "Kami mengundang ulama yang biasa diundang BNPT, Syekh Ali Hasan. Ketua kami justru menemani Syekh Ali ketika di Indonesia," tuturnya.
Para wartawan situs yang diblokir pemerintah tersebut, menyayangkan nihilnya klarifikasi ketika pemblokiran terjadi. "Ini tindakan gegabah yang serampangan. Mestinya klarifikasi dulu. Paling tidak, ketika Kominfo menerima informasi dari BNPT melakukan klarifikasi. Zaman orde baru, kalau mau dibredel juga dilihat dulu. Ini lebih gila dari orde baru," katanya menjelaskan.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kominfo Ismail Cawidu menuturkan pihaknya sebagai kementerian memang tidak meneliti konten dari situs Islam tersebut. "Kominfo meneliti satu-satu, tapi tidak melihat sampai konten. Kominfo tidak meneliti apakah radikal atau tidak. Kami hanya meneruskan apa yang direkomendasikan BNPT," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar