Harga bahan bakar minyak (BBM) kembali naik pada hari ini sebesar Rp 500 per liter, di mana premium menjadi Rp 7.300 dan solar bersubsidi Rp 6.900. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengisyaratkan harga kedua jenis bahan bakar tersebut akan kembali naik pada bulan depan jika harga minyak mentah di pasar dunia meningkat dan depresiasi rupiah berlanjut.
I Gusti Nyoman Wiratmadja, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM, menjelaskan penetapan harga BBM selama ini didasarkan pada rata-rata harga minyak mentah bulanan. Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan pergerakan nilai tukar dolar Amerika Serikat dalam struktur biaya produksi BBM ataupun impor.
"Saat ini harga minyak MOPS (Mean of Plats Singapore/transaksi bursa Singapura) naik sekitar US$ 10, sedangkan rupiah melemah yang kalau dikombinasikan mengikuti harga keekonomian maka akan naik cukup tinggi. Namun, pemerintah berpikir bijak dengan menaikkan harga BBM, tapi tidak setinggi usulan Pertamina," ujarnya dalam diskusi di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (28/3).
Apabila tren kenaikan harga minyak dan pelemah rupiah berlanjut, Nyoman mengatakan secara logika harga BBM akan kembali direvisi naik. Namun, pemerintah akan mempertimbangkan aspek lain, seperti sosial, ekonomi dan politik, dalam menetapkan harga yang ideal dan masih bisa diterima oleh masyarakat.
"Kalau secara logika sederhana ya (harga BBM akan naik lagi), tapi pimpinan punya kebijakan berapa kenaikannya," ujar Nyoman.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya W. Yudha mengatakan seharusnya naik atau turun harga BBM tidak lagi menjadi isu di publik. Sebab, pemerintah dan DPR sudah sepakat mengubah paradigma penyaluran subsidi, dari yang sebelumnya menyubsidi harga menjadi subsidi langsung yang lebih tepat sasaran.
"Pertanyaannya sekarang seharusnya, kalau ada penghematan dari pengalihan subsidi itu mau dilarikan ke mana dananya," ujar Satya.
Satya menjelaskan pemerintah selama ini menggunakan proyeksi harga minyak mentah untuk sebulan ke depan dalam menetapkan harga BBM saat ini. Proyeksi tersebut bisa saja meleset lebih tinggi atau lebih rendah dari realisasi dan akan berpengaruh signifikan terhadap postur anggaran pemerintah.
"Kalau harga minyak meleset lebih rendah dari proyeksi, ada kemungkinan rakyat menyubsidi negara. Pertanyaannya, uang lebih itu di kemanakan oleh pemerintah," katanya.
Namun, lanjutnya, tidak menutup kemungkinan rakyat membayar lebih murah jika harga minyak jauh di bawah dugaan pemerintah. Pada kasus ini, pemerintah dipaksa menyubsidi selam sebulan sebelum ada koreksi harga pada bulan berikutnya.
"Kalau ada subsidi BBM, kami akan tanya ke pemerintah ambil duit dari mana. Apakah dari cadangan risiko fiskal atau menyedot dana untuk pembangunan infrastruktur," tutur Satya.
"Jadi bukan lagi DPR setuju atau tidak setuju karena kita sudah mengubah paradigma subsidi BBM menjadi lebih targeted," katanya.
JPNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar