Ist |
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Maluku melaporkan tindakan Detazemen II Brimob Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) ke Mabes Polri terkait tindakan penganiayaan terhadap warga Morokauw.
"Kami juga membuat laporan resmi ke Komnas HAM, Ombudsman dan LSM Kontras di Jakarta atas tindakan semena-mena terhadap masyarakat," kata Koordinator Aman Maluku, Johanes Balubun, di Ambon, Rabu.
Pelaporan Brimob secara institusi ini didasarkan pada aksi penganiayaan terhadap warga dengan cara mengerahkan pasukan bersenjata lengkap dan menggunakan mobil truk Brimob.
Penganiayaan yang dilakukan sejumlah oknum brimob terhadap warga Morekau itu dilakukan pada Minggu (29/3/2015).
Saat itu, lebih dari sepuluh personel brimob yang menggunakan truk mendatangi desa itu sambil membawa senjata lengkap. Mereka lalu mengamuk dan memukuli warga yang mereka temui, sejumlah warga bahkan dilaporkan terluka karena terkena pakai popor senjata. Akibat insiden itu 13 warga mengalami luka cukup serius.
“Diduga oknum anggota Brimob yang menyerang Desa Morekau telah mendapat perintah resmi dari atasannya. Ini dapat dilihat dari kedatangan mereka ke Desa Morekau menggunakan truk milik Brimob Datasemen II dengan memakai seragam lengkap kepolisian, dan juga dilengkapi dengan senjata,” kata Ketua AMAN Maluku Yohanis Balubun saat mendatangi Kantor DPRD Maluku, Rabu (1/4/2015).
"Kami menyimpulkan demikian karena apa yang dilakukan oleh mereka sudah bersifat institusi, dimana penggerakan pasukan secara resmi menggunakan mobil dan seragam Brimob bersenjata lengkap sehingga bukan lagi sifatnya individual atau oknum," tandas Johanis.
Peristiwa penganiayaan warga dan tokoh agama serta perangkat Desa Worokauw pada Minggu, (29/3) bermula dari aksi seorang anggota Brimob yang bolak-balik jalan desa dengan sepeda motor membuat keributan sehingga ditegur warga.
Menurut Johanis, ketika sudah menggunakan alat-alat negara yang harusnya melalui izin maka itu disebut institusi, sehingga Aman berharap ada pertanggung jawaban hukum secara institusi.
"Apa yang dilakukan Brimob di Morokauw ini merupakan sebuah pelanggaran dari Perkab I tahun 2009 terkait dengan penggunaan kekuatan Polri," kata Johanis.
Artinya, kalau mereka beralasan bahwa ke Morokauw itu karena ingin mengamankan masyarakat di sana, tindakan dengan menggunakan senjata lalu melepaskan tembakan itu sesuatu yang terakhir dari sebuah proses pengamanan.
Melepaskan peluru ini merupakan tindakan atau langkah ke-enam setelah tahap pertama sampai ke lima tidak tertangani baru langkah selanjutnya adalah menggunakan peluru.
"Aturan ini yang tidak dihormati tetapi langsung melakukan penganiayaan dan pemukulan terhadap masyarakat dan melepaskan tembakan, sehingga perbuatan ini harus dipertanggung jawabkan oleh institusi dan bukannya oknum," tegasnya.
Aksi kekerasan ini membuat warga Morokauw jadi trauma dan mengungsi ke tempat ibadah untuk tidur, sebab mereka khawatir ada aksi susulan.
"Kami tetap melakukan proses advokasi dan diharapkan lewat peristiwa ini menjadi proses pembelajaran bagi kita semua, terutama Brimob dalam menggunakan kekuatan mereka yang diizinkan oleh negara," kata Johanis.
Kejadian ini juga diharapkan menjadi proses pembelajaran untuk mengubah sistem pendidikan agar tidak menghasilkan anggota Polri yang berlagak seperti preman.
ANTARA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar