Sabtu, 09 Mei 2015

Kontroversi Sabda Raja, Sultan Yogya Sebut Dirinya dapat Wahyu Langsung dari Tuhan






Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X memenuhi janjinya menjelaskan tentang Sabdaraja dan Dawuhraja di Ndalem Wironegaran. Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan itu sebagai wahyu Tuhan.





Sultan menyatakan ada sejumlah pemahaman berbeda dari apa yang disampaikan di hadapan kerabat Keraton dengan apa yang beredar di media massa dan masya rakat umum. Dia pun mengklaim apa yang disampaikan dalam Sabdaraja adalah wahyu Tuhan melalui leluhurnya.




”Saya merasa sabda raja ini merupakan dawuh Allah (wahyu Tuhan) lewat leluhur saya. Masak dawuh Gusti Allah kepada orang lain menggunakan assalamualaikum? Kan tidak,” kata Sultan, kemarin.




Sultan HB X membantah telah menghapus “Assalamualaikum” dalam segala acara proto koler di dalam Keraton Yogyakarta. Namun, dia mengakui saat membaca Sabdaraja tidak memakai Assalamualaikum.





Pria yang bernama lahir Herjuno Darpito ini menjelaskan Sabdaraja tidak menggunakan Assalamualaikum karena Sabdaraja merupakan da wuh atau wahyu langsung dari Gusti Allah.





“Saya merasa Sabdaraja ini merupakan dawuh Allah (wahyu Tuhan) lewat leluhur saya. Masa dawuh Gusti Allah kepada orang lain, menggunakan Assalamualaikum? Kan tidak,” katanya.





Sultan menegaskan Sabda raja yang tidak memakai kata As salamualaikumbukan berarti di Keraton tidak boleh menggunakan Assalamualaikum. “Di Keraton tetap boleh,” katanya. Gubernur DIY ini menjelaskan pergantian dari Buwono menjadi Bawono. Buwono merupakan jagad alit, sedangkan Bawono merupakan jagad ageng.





“Umpamanya Buwono itu daerah, maka Buwono itu nasional. Buwono itu nasional berarti Bawono itu internasional. Kira-kira seperti itu,” kata Sultan. Soal penggantian “Sadasa” menjadi “Kasepeluh” menggunakan dasar lir gumanti (tata urutan). Contohnya, kasapisan kapindo katelu dan seterusnya sampai kasepuluh. Tidak bisa bisa disebut sadasa, tidak pula disebut kaping sepuluh.





Sultan menjelaskan pergantian dalam gelar “khalifatullah sayiddin” menjadi “langgeng toto panoto gomo”, yakni langgeng yang diperintah Gusti Allah adalah untuk prantan jagad. “Dawuh ini sebenarnya ti dak bisa dianggap sepele seperti raja sebelumnya. Sebab zaman sudah berubah. Ini zaman baru,” ucapnya.








Raja yang naik takhta sejak 7 Maret 1989 ini juga mengakui dalam dawuh raja memilih Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pem bayun sebagai putri mahkota serta menobatkan nama baru GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Sebelum penobatan, putri sulung duduk berdampingan bersama adik-adiknya. Lalu Sultan memanggil GKR Pembayun untuk maju dan duduk di Watu Gilang atau batu Singgasana Panembahan Senopati.





Tetapi, Sultan belum memastikan GKR Mangkubumi tersebut sebagai penerus takhta. Alasannya, Sultan hanya mendapat wahyu sebatas mengganti nama dan gelar serta mengangkat putri mahkota. “Kalau lebih dari itu (memastikan sebagai penerus takhta), saya dikira mengarang cerita. Wahyu yang saya dapat sebatas itu,” ungkapnya.





Pada kesempatan itu, Sultan juga membantah memiliki dukun seperti yang dituduhkan sejumlah adiknya. Saat Sultan remaja dan bernama Herjuno Darpito sampai berganti nama menjadi Mangkubumi sering diminta oleh ayahnya Sri Sultan HB IX mengunjungi petilasan para leluhur.





Menurut dia, ayahnya sering meminta melakukan itu karena saat itu HB IX lebih banyak beraktivitas di Jakarta sebagai Wakil Presiden era Soekarno. “Saat ayah banyak di Jakarta, sering mengutus ke sejumlah petilasan para leluhur. Itu saya lakukan. Jadi saya tidak punya guru spiritual dan dukun,” katanya.




Penolakan Meluas



Penolakan atas sabda raja terus mengemuka. Setelah muncul dari adik-adik Sultan dan abdi dalem, kemarin ratusan spanduk yang menentang sabda itu tersebar di sejumlah titik Yogyakarta. Spanduk itu bertuliskan, ”Kembalikan Paugeran, Jogja Tetap Istimewa”.



Salah seorang pemasang spanduk, Muhammad Muslih, 40, warga Kauman Kecamatan Keraton Yogyakarta mengungkapkan pemasangan seruan itu bukan hanya inisiatif warga Kauman, melainkan warga Yogyakarta yang tidak setuju dengan keputusan Sultan mengganti gelar Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.



”Pemasangan ini juga mendapat dukungan dari sejumlah tokoh agama dan pengasuh pondok pesantren,” klaim dia. Sementara itu pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf menilai sabda raja yang dikeluarkan Sri Sultan Hamengku Bawono X tidak berdampak pada pengubahan Undang-Undang (UU) Keistimewaan.



Pasalnya sabda raja tersebut tidak berdampak bagi pemerintahan. ”Misalnya gelar khalifatullah itu ada atau tidak hubungannya dengan pemerintahan atau kewenangan-kewenangan gubernur. Kalau tidak berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab gubernur tidak usah dipermasalahkan,” ujar dia. Dia menilai sabda raja tersebut hanya berkaitan dengan kultur Keraton Yogyakarta. Dengan demikian tidak perlu diselesaikan dengan langkah hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar