Nenek Asyani menjadi terdakwa di PN Situbondo karena memiliki kayu tanpa surat-surat. Si nenek renta itu didakwa pasal 12 juncto pasal 83 UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Asyani seorang nenek yang dilaporkan ke polisi gara-gara pencurian 38 batang kayu jati sudah menjalani sidang. Dalam sidangnya nenek yang berumur (63) tahun ini tak kuasa menahan tangis, akibat laporan Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Timur.
Nenek yang dalam persidangan sebelumnya duduk bersimpuh di lantai dan meminta ampun kepada majelis hakim itu menangis saat melihat pelapornya, Sawin, mantri Perhutani.
Warga Dusun Kristal, Desa/Kecamatan Jatibanteng, Situbondo, itu menjalani sidang dengan jadwal tanggapan jaksa atas pembelaan kuasa hukum terdakwa. Mulanya, Asyani diam tertunduk mendengarkan tanggapan jaksa penuntut umum, Ida Haryani, selama 30 menit.
Setelah jaksa penuntut membacakan tanggapannya, Asyani langsung menangis histeris. Dia menuding Sawin, yang berdiri di pintu samping ruang sidang.
"Sawin, kamu yang tega memenjarakan saya. Padahal saya sudah datang ke rumahmu untuk meminta maaf. Kamu tega sama saya," tutur Asyani berteriak lalu terdiam setelah ditenangkan oleh kuasa hukumnya, Supriyono.
Asyani adalah tukang pijat. Dia didakwa dengan Pasal 12 huruf d juncto Pasal 83 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman hukuman penjara 5 tahun. Asyani dituduh mencuri 38 papan kayu jati di lahan Perhutani di desa setempat.
Asyani dilaporkan oleh sejumlah polisi hutan ke Polsek Jatibanteng pada 4 Juli 2014. Nenek empat anak itu kemudian ditahan pada 15 Desember 2014. Selain Asyani, tiga orang lain juga ikut ditahan, yakni menantu Asyani, Ruslan; pemilik mobil pick up, Abdussalam; dan Sucipto, tukang kayu.
Dalam tanggapannya, jaksa Ida Haryani menuturkan pihaknya memiliki bukti-bukti kuat bahwa 38 papan kayu itu memang diambil Asyani di lahan Perhutani. "Terdakwa tidak mampu menunjukkan dokumen kepemilikan kayu tersebut," katanya.
Supriyono menyesalkan sikap jaksa itu, yang dinilainya terlalu formalistis dalam menangani kasus tersebut. Padahal faktanya, kayu jati itu ditebang dari lahan milik Asyani yang telah dijual pada 2010.
"Ada surat keterangan kepala desa kalau lahan tersebut dulunya milik Asyani," ucap Supriyono.
Sebelumnya, Asyani juga telah menyatakan itu secara langsung di hadapan majelis hakim ketika memohon ampun. Menurut dia, kayu jati itu peninggalan suaminya yang telah meninggal.
Adapun agenda persidangan lanjutan pada Senin, 16 Maret mendatang, adalah putusan sela oleh majelis hakim.
Pakar Hukum Universitas Indonesia (UI), Chudry Sitompol, menyesalkan penahanan Asiani.
"Saya kira tidak pantas penahanan itu. Lagi pula Mahkamah Agung (MA) telah membuat edaran, jika suatu perkara nilainya tidak sebesar biaya penyidikan maka perkara itu dapat tidak dilanjutkan," kata Chudry, Kamis (12/3/2015).
Dia menilai, apa yang telah dilakukan pihak kepolisian terlalu berlebihan dengan menahan nenek tersebut tanpa dasar yang kuat.
"Apalagi kalau ditahan apa maksudnya? Kalau untuk menahan seseorang mungkin karena takut untuk mengulangi kejahatannya, merusak barang bukti atau melarikan diri, beliau kan sudah tua, saya pikir tidak mungkin dapat berbuat seperti itu. Polisi berlebihan meskipun memiliki wewenang," bebernya.
Terlebih, sambung Chudry, Perhutani merupakan perusahaan milik negara. "Itu kan perusahaan negara, apa gunanya ditahan, untuk menakut-nakuti? Mesti melihat background terlebih dahulu seharusnya," kesal Chudri.
TEMPO | OKEZONE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar