Sabtu, 23 Mei 2015
Myanmar 'Ngeles' sebut Krisis Rohingya Bukan Diskriminasi
Pejabat Myanmar membantah bahwa penyebab ribuan warga Muslim Rohingya melarikan diri dari negara bagian Rakhine adalah penganiayaan, menyusul seruan dari Amerika Serikat agar Myanmar mengatasi akar masalah krisis pengungsi yang kini melanda Asia Tenggara.
Banyak warga Rohingya menjadi korban perdagangan manusia, diselundupkan ke Thailand dan Malaysia, yang menurut Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken, disebabkan karena “keputusasaan yang mereka hadapi di negara bagian Rakhine.”
“Saya kecewa dan sepenuhnya tidak setuju dan menolak tuduhan AS yang tidak berdasar tersebut,”kata Ketua Menteri Rakhine, Maung Maung Ohn setelah bertemu dengan utusan PBB pada Jumat (22/5).
“(Migrasi) ini adalah perdagangan manusia, sama sekali bukan (karena) diskriminasi politik atau agama.”
Blinken, mengunjungi Myanmar Kamis dan Jumat kemarin, mengatakan kepada para pemimpin Myanmar bahwa mereka harus mengatasi diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas Rohingya.
Lebih dari 3.000 migran telah mendarat di pantai Malaysia dan Indonesia pada bulan ini, dan sebagian besar dari mereka adalah Rohingya, kata Blinken.
Sebelumnya, pengungsi yang ingin bekerja di Malaysia diselundupkan melalui Thailand. Namun, karena Thailand mulai menindak keras pelaku perdagangan manusia, mereka lalu meninggalkan kapal ‘manusia perahu’ yang kelebian beban di Teluk Benggala dan Laut Andaman demi menghindari rute Thailand.
Badan pengungsi PBB, UNHCR, memperkirakan pada Jumat bahwa sekitar 3.500 imigran masih terdampar di kapal dengan pasokan yang berkurang. UNHCR juga mengulangi seruan mereka kepada pemerintah sekitarnya agar menyelamatkan para imigran tersebut.
Sementara itu, Angkatan Laut Myanmar menemukan dua kapal Thailand, satu membawa pengungsi 200 warga Bangladesh namun satu lagi kosong, di peraran Rakhine pada Kamis.
"Orang-orang di atas kapal semua dari Bangladesh," kata sekretaris eksekutif pemerintah negara bagian Rakhine Tin Maung Swe. "Kami akan mendeportasi mereka."
Maung Maung Ohn mengatakan ia akan membawa sekelompok utusan PBB untuk menemui imigran untuk menunjukkan bahwa mereka merupakan korban perdagangan manusia, bukan penganiayaan.
Myanmar menghadapi kecaman internasional karena tidak berbuat cukup untuk membantu mereka di laut atau membendung arus imigran dari wilayah mereka.
Etnis Rohingya yang berjumlah sekitar 1,1 juta jiwa hidup tanpa memiliki kewarganegaraan dan terus-menerus menerima diskriminasi di Myanmar. Pada 2012, sekitar 140 ribu mengungsi setelah bentrok dengan mayoritas umat Buddha di Rakhine.
Myanmar membantah diskriminasi terhadap kelompok minoritas Rohingya dan mengatakan itu bukan sumber masalah. Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai etnis minoritas, namun mengklasifikasikan mereka sebagai Bengali (sebutan pemerintah untuk imigran ilegal dari Bangladesh). Kebanyakan warga Rohingya menolak istilah itu karena banyak yang telah tinggal di Rakhine selama beberapa generasi.
Kepala militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing meragukan asal mayoritas pengungsi.
Min menyatakan bahwa para "manusia perahu" itu sebagian besar berasal dari Bangladesh, bukan Myanmar.
"Sebagian besar mengaku diri mereka adalah etnis Rohingya dari Myanmar dengan harapan menerima bantuan dari UNHCR," kata Min kepada harian pro pemerintah, Global New Light of Myanmar, dikutip dari Reuters, Jumat (22/5).
Di lain pihak, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menampung ribuan pengungsi yang saat ini masih terkatung-katung di laut. Sementara Thailand hanya akan menolong mereka di atas perairan dan tidak akan membawa mereka ke darat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar