Jumat, 27 Maret 2015
Tewasnya 2 TNI di Aceh Tak Terkait Politik
Wakil Ketua Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik pada Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Sahlan Hanafiah menilai, penculikan dan pembunuhan dua anggota TNI dari Kodim Aceh Utara bukan sebuah gerakan politik, melainkan kasus kriminal bersenjata.
“Saya masih melihat kasus ini sebagai peristiwa kriminal. Ini tidak masuk dalam kategori gerakan separatis atau politik. Sebab, gerakan jenis ini biasanya memiliki seorang pemimpin yang karismatik, mempunyai ideologi, dan agenda politik yang jelas. Selain itu, biasanya secara kolektif terjadi diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak mendukung gerakan tersebut. Tapi dalam kasus penembakan itu, unsur-unsur ini sepertinya belum terpenuhi,” kata jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini saat menjadi narasumber dalam Program Cakrawala Serambi FM 90,2 MHz, Kamis (26/3) pagi.
Program ini membahas Salam (editorial) Serambi edisi 26 Maret 2015 berjudul “Masyarakat Ketakutan Lagi” yang dipandu Host, Nico Firza, dan narasumber internal dari Serambi Indonesia, Redaktur Pelaksana Yarmen Dinamika.
Sahlan mengingatkan bahwa di daerah-daerah bekas konflik yang dulunya merupakan daerah-daerah panas (hot spot), hal seperti ini bisa saja terjadi, mengingat damai masih dalam tahap embrional. Bisa saja muncul kelompok yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan tertentu yang kontraproduktif dengan upaya perdamaian.
“Saya membaca dan mengikuti kasus ini dan saya lihat ini cenderung merupakan kriminal biasa,” ujarnya tentang insiden Nisam.
Ada pihak yang menurut analisisnya sengaja memancing situasi menjadi seperti sekarang. Kasus-kasus seperti ini sangat mudah membuat suasana batin masyarakat ketakukan dan memancing kembalinya memori-memori konflik di Aceh.
Sahlan menyarankan, dalam kasus ini harus ada kerja sama antara polisi dan TNI, tapi polisi harus tetap berada di garda terdepan dalam pengusutan.
“Kasus-kasus penculikan yang selama ini terjadi pun harus diusut secara cepat dan diselesaikan. Din Minimi misalnya, dia masih bebas melakukan aksi. Apabila hal ini dibiarkan terlalu lama, maka masyarakat akan merasa trauma dan takut. Tapi di sisi lain, ada kelompok-kelompok kriminalitas lain yang melihat bahwa ini adalah peluang untuk melakukan aksi yang lebih besar, sehingga mereka terdorong untuk melakukannya,” ujar Salhan.
Dosen UIN Ar-Raniry ini menghendaki Polda Aceh harus memiliki peta yang jelas mengenai daerah-daerah mana yang potensial terjadinya aksi kriminalitas seperti ini dan merumuskan dengan konkret langkah-langkah penanganannya.
Apabila dirasakan Aceh Utara, Aceh Timur, dan Bireuen termasuk dalam kategori rawan gangguan keamanan, misalnya, maka sudah seharusnya, menurut Sahlan, kapolres di daerah-daerah itu diperkuat personelnya dan ada tim khusus yang mencegah aksi-aksi seperti itu.
Sementara itu, mantan Ketua Komnas HAM RI, Ifdhal Kasim mengatakan, peristiwa di Nisam itu sudah dinyatakan otoritas keamanan di Aceh sebagai peristiwa kriminal biasa, maka sudah seharusnya polisi yang bertugas mengungkap kepada publik mengapa peristiwa itu terjadi dan siapa pelakunya.
Proses hukum, menurut putra Aceh ini, harus dijalankan sesuai due process of law. Dengan demikian, TNI tidak berwenang mengusut suatu peristiwa pidana, apalagi dalam bentuk penggelaran pasukan seperti tampak di Nisam, kecuali ada permintaan resmi dari polisi.
“Peristiwa ini harus disikapi dengan kepala dingin, mengingat proses damai di Aceh masih embrional. Sikap reaktif justru akan sangat mengganggu proses perdamaian di Aceh. Masyarakat harus dijauhkan dari ingtan kolektif terhadap DOM dan darurat militer,” kata advokat yang juga pengamat hukum dan HAM ini.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Mustiqal Syahputra SH, menyarankan penegakan hukum tetap harus dikedepankan dalam situasi terkini, menyikapi insiden kekerasan penculikan dan pembunuhan yang menimpa dua anggota TNI dan penculikan anggota KPA di Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara.
“Kami dari LBH Banda Aceh meminta seluruh pihak untuk dapat mengedepankan penegakan hukum yang tetap berbasis HAM. Bagaimanapun, Aceh masih mempunyai sejarah kelam dalam konteks penegakan hukum dan HAM di masa lalu,” kata Mustiqal dalam rilis yang diterima Serambi kemarin.
Ia mengatakan situasi di Nisam Antara saat ini masih mencekam dan masyarakat di wilayah itu merasa ketakutan akibat trauma peristiwa masa lalu.
“Kami dukung proses pengungkapan pelaku kekerasan tersebut. Karena itu pihak kepolisian, khususnya Polda Aceh, kami harapkan secepatnya mewujudkan rasa aman kepada masyarakat tanpa mengurangi peran mengejar pelaku kekerasan pembunuhan dan penculikan itu,” ujar Mustiqal.
Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hlang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Hendra Saputra mendesak pimpinan TNI menarik pasukan TNI dari Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara, karena keberadaan TNI di sana dapat membawa dampak psikologi dari trauma bagi masyarakat setempat yang hidup pascakonflik.
Menurut KontraS, sebagaimana dilansir Acehkita.com, kendati yang menjadi korban adalah anggota TNI, tapi proses hukum untuk mengusut kasus tersebut sepenuhnya berada pada pihak kepolisian.
KontraS juga mendesak kepolisian selaku penanggung jawab keamanan di Aceh untuk mengungkap motif kriminlitas bersenjata api yang marak terjadi di Aceh agar tidak mengusik damai Aceh.
SERAMBI INDONESIA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar