Senin, 04 Mei 2015

Serdadu Israel Ungkap Bukti Kejahatan Perang di Gaza






Bukti Israel sengaja menyasar warga sipil, dengan harapan membunuh sebanyak mungkin rakyat Palestina, dalam Perang 50 Hari tahun lalu ditemukan.





Sejumlah tentara yang bertugas di Jalur Gaza, yang memberi kesaksian dan ditulis dalam dokumen Breaking The Silence, mengatakan mereka menerima perintah menembak atau membunuh setiap orang yang mereka lihat di sektor tempur. Setiap tentara Israel harus percaya bahwa wilayah yang mereka tembak telah bebas dari warga sipil.





Kenyataannya, ketika tentara Israel memasuki wilayah yang dihujani artileri dan dibom jet-jet tempur Israel, yang mereka temukan adalah warga sipil yang tewas dan terluka.





Breaking The Silence adalah organisasi yang didirikan tentara dan veteran peran Israel. Kelompok ini ingin memastikan anggota yang terlibat perang benar-benar melawan serdadu Palestina, bukan warga sipil.





Dalam banyak kasus, menurut Breaking The Silence, penembakan artileri tidak dimaksudkan untuk membantu tentara di lapangan, tapi untuk kepentingan politik dan diplomasi.





Kelompok ini menghimpun kesaksian 70 tentara, dari yang berpangkat sersan sampai letnan dan perwira. Mereka terdiri dari serdadu angkatan darat, laut, dan pilot pesawat tempur, yang bertugas selama Perang 50 Hari di Gaza yang oleh Israel disebut Operation Protective Edge.





Sejumlah veteran perang yang tergabung dalam Breaking The Silence mengatakan terkejut dengan kesaksian yang mereka dengar.





"Tanyakan kepada tentara yang terlibat dalam Operation Protective Edge apakah ada aturan keterlibatan sebelum memasuki wilayah paling padat penduduk di dunia. Mereka mengatakan tidak ada," ujar Avihai Stollar, direktur penelitian dan pengumpulan kesaksian Breaking The Silence.





"Serdadu hanya diberi tahu harus menembak siapa pun yang mereka lihat di wilayah yang mereka masuki," lanjutnya.





Menurut Stollar, Israel menerapkan dua doktrin tempur; Dahiyeh Doctrine dan Hannibal Directive. Keduanya paling menghancurkan warga Jalur Gaza.








Dahiyeh Doctrine kali pertama diterapkan di selatan Lebanon tahun 2006, ketika Israel menghancurkan semua pada tingkat luluh-lantak untuk mengalahkan Hamas dan Hizbullah. Landasan doktrin ini adalah dalam perang melawan milisi tidak ada kemenangan yang menentukan.





"Anda tidak punya kesempatan mendaki bukit, menaikan bendera, dan menyeru; kami menang," ujar Stollar.



"Jika mereka menembakan satu roket, kami harus membalas seratus. Jika mereka menyerang kota kita, kita harus membalas dengan menghancurkan kota mereka sampai tingkat luluh-lantak."





Hannibal Directive, masih menurut Stollar, adalah penghancuran untuk mencegah penangkapan hidup-hidup serdadu Israel. Contoh doktrin ini terlihat saat muncul kabar seorang serdadu Israel ditangkap di Rafah pada 1 Agustus 2014. Israel bukan menyelamatkan, tapi berusaha membunuh serdadu itu agar tidak menjadi sandera lawan.





Doktrin ini dijalankan tanpa harus mempertimbangkan warga sipil di pihak lawan, fasilitas umum, bahkan gedung-gedung milik lembaga interansional. Yang terjadi adalah sekolah yang dikelola PBB menjadi sasaran pemboman jet-jet tempur Israel.





"Intinya adalah ketika mereka percaya tentara diculik, ribuan peluru dan bom siap dihamburkan untuk membunuh tentara itu," demikian Stollar.





Doktrin inilah yang membuat perang di Jalur Gaza selama 50 hari sangat mematikan bagi warga sipil. Saat itu 2.102 warga sipil Palestina tewas, kebanyakan wanita dan anak-anak, 19 ribu rumah hancur, 400 ribu mengungsi, dan 100 ribu kehilangan tempat tinggal.





Bagi banyak tentara yang mendapat perintah, perang di Jalur Gaza tahun lalu sangat brutal, dan lebih bisa disebut pembantaian. Israel melakukan kejahatan perang paling keji.



INL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar