Kamis, 21 Mei 2015

Kisah Heroik Nelayan Aceh: Diancam Penjara Polisi Air, Nelayan Aceh Tak Peduli





Dalam sebulan terakhir, nelayan Aceh menyelamatkan lebih 1.500 lebih imigran Rohingya dan Bangladesh dari tengah laut. Mereka sempat terombang-ambing dengan kondisi boat mati mesin. Para nelayan yang melihat pemandangan pilu itu kemudian menyelamatkan 'manusia perahu tersebut'.



Baru saja berangkat melaut, para nelayan di Kuala Langsa, Aceh, harus menanggalkan pukat mereka dan berhenti mencari ikan demi menyelamatkan ratusan pengungsi Rohingya dan Bangladesh di lautan.



Sekitar 28 nelayan dari Desa Simpang Lhee, Kecamatan Julok, Kabupaten Aceh Timur, melakukan aksi heroik dengan menarik kapal imigran itu ke tepi muara pantai Aceh Timur.



Sunan, 38, mengatakan saat itu sekitar pukul 6 sore, Kamis pekan lalu saat sebuah kapal nelayan kecil menghampiri mereka, mengaku melihat banyak sekali orang di atas kapal, beberapa di antaranya bahkan ada di dalam air. Lantas saja, Kapal Sunan dan beberapa kapal lainnya menghampiri.



"Begitu mereka melihat kami, beberapa melompat ke air. Ada yang berenang, ada yang begitu sampai air tidak muncul lagi, tewas tenggelam, mungkin karena perut kelaparan sehingga tidak ada tenaga," kata Sunan lansir CNN di pelabuhan Kuala Langsa tempat ratusan pengungsi ditampung, Kamis (21/5).



Sunan mengaku sedih melihat keadaan para pengungsi tersebut. Saking padatnya kapal, warga Rohingya dan Bangladesh ini hanya duduk dengan kaki tertekuk. Namun paling memilukan adalah melihat wanita dan anak-anak balita didalamnya.



"Ketika melihat anak-anak kecil, usia balita, hati saya teriris. Akhirnya kami memutuskan tidak mencari ikan dan membantu mereka," ujar Sunan.







Padahal, saat itu dia baru saja berangkat melaut. Biasanya, dia melaut selama 4-5 hari dan menangkap ikan paling tidak dua ton, tergantung musimnya.



Menyelamatkan Rohingya, Sunan dan para nelayan lainnya terpaksa kehilangan penghasilan, namun mereka tidak menyesal.



"Kami tidak menyesal menyelamatkan mereka, ini kebanggaan bagi kami jadi pelaut. Di laut jika ada yang butuh pertolongan pasti dibantu," ujar Sunan.



Sekitar enam kapal nelayan turut membantu upaya penyelamatan setelah dikontak. Satu per satu pengungsi dinaikkan ke kapal. Mereka berada di sekitar 40 mil dari pantai, perjalanan ke daratan membutuhkan waktu sekitar 4-5 jam.



Di kapal, bekal melaut selama empat hari langsung dimasak untuk memberi makan para pengungsi yang selama berbulan-bulan kurang asupan makanan.



"Bekal untuk melaut kami masak, ada ikan kami bakar. Mereka awalnya berebut, tapi kami bilang utamakan wanita dan anak-anak," kata Sunan.



Namun sesampainya di pelabuhan, para pengungsi tidak bisa langsung ke darat karena masih harus mendapatkan persetujuan dari polisi air. Sunan menyayangkan sikap yang mengecam tindakan nelayan dan mengancam akan memenjarakan mereka jika melakukan penyelamatan lagi.



"Polisi air itu mengatakan, 'kalau di Malaysia dan Thailand orang-orang (pengungsi) ini tidak diterima," tutur Sunan meniru Polisi Air.



"Dia (polisi) bilang, kami akan dipenjara jika membantu orang (rohingya) ini lagi. Tapi kami tidak peduli, karena ada anak-anak di dalamnya. Tadinya jika mereka tidak juga boleh ke darat para nelayan akan demonstrasi," lanjut Sunan.



Sunan memang tak akan dipenjara, terlebih setelah pada Rabu, para menteri luar negeri dari Indonesia, Malaysia dan Thailand bertemu sepakat untuk memberikan pemukiman sementara bagi sekitar 7.000 para imigran yang berada di perairan kedua negara.



KRONOLOGI KAPAL DITEMUKAN



Kapal pengungsi tersebut mulanya ditemukan Razali, 36, Selasa siang (19/5), sekitar 38 mil dari daratan dengan waktu perjalanan sekitar 4 jam.



’’Saya hampiri mereka dan kasih makan. Setelah itu, saya kontak teman-teman untuk segera merapat,’’ jelas Razali.



Namun, karena jumlah pengungsi begitu banyak, para nelayan itu tidak sanggup memasok makanan ke kapal yang terkatung-katung di laut tersebut. ’’Karena itu, kami dorong saja sampai muara,’’ katanya.



Selasa sore (19/5), para nelayan mulai berupaya menarik kapal pengungsi. Awalnya, hanya tiga perahu kecil yang menarik. Setelah mencapai jarak 28 mil, lima perahu lain datang membantu.



’’Kami sampai muara sekitar pukul satu malam. Setelah dari muara, baru mereka kami naikkan ke perahu untuk dibawa ke kampung,’’ jelas Razali.



Kondisi para pengungsi amat memprihatinkan. Banyak yang sakit-sakitan dan hampir meninggal. ’’Kami dapati ada seorang yang mati, lalu dibuang ke laut oleh mereka,’’ ucap Fakhri, 46, nelayan lainnya.



’Kalau tidak kami selamatkan, mereka pasti akan tenggelam. Kami masih punya rasa kemanusiaan,’’ tegas Razali.



Nelayan Aceh juga berkorban materi. Bahan makanan untuk di laut berhari-hari habis dibagikan kepada para pengungsi. Begitupun solar untuk menyelamatkan nyawa imigran di tengah laut.



’’Saya kira (rugi) sekitar Rp 5 juta. Tetapi, saya ikhlas. Rezeki bisa dicari. Tetapi, kesempatan menyelamatkan ratusan nyawa orang, kapan lagi kami dapat?’’ katanya.



Saat penyelamatan oleh nelayan, sebenarnya ada anggota Polair Aceh Timur yang sedang berpatroli. Namun, mereka hanya melihat dan kemudia berbalik arah.



’’Mereka lihat kami, tetapi mereka balik lagi,’’ ungkapnya.



Kondisi mengharukan terjadi saat para imigran sampai di darat. Setelah mereka ditampung di Meunasah (surau) desa, bantuan pakaian dan makanan dari kampung-kampung sekitar tidak henti berdatangan.



’’Semua bantuan itu murni dari masyarakat, tidak ada yang dari pemerintah,’’ tegas Muhammad Nasir, sosok tetua kampung.



Warga Aceh lainnya, Muhammad, (42) mengaku tidak peduli jika pemerintah melarang mereka menampung para pengungsi.



"Masalah aturan pemerintah, itu urusan pemerintah. Kami hanya tahu menolong orang itu wajib. Ini wilayah Serambi Mekah, dimana budaya dan agamanya masih kuat. Allah yang akan membalas kami," ungkap warga Simpang Lhee, Julok, Aceh Timur tersebut.



CNN/JPNN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar