Juru bicara Mabes TNI, Mayjen Fuad Basya, mengakui Indonesia telah meminta sebuah kapal pengungsi Rohingya yang berada di perairan Aceh untuk memutar arah dan tidak mendarat di wilayah Indonesia.
Atas nama kepentingan nasional, Australia sejak beberapa tahun silam menghalau kapal imigran gelap yang tengah berlayar ke Benua Kangguru. Lewat kebijakan Push Back, Canberra mengirimkan kembali kapal imigran gelap ke perairan Indonesia.
Kebijakan demikian ditentang keras oleh pemerintah Indonesia yang tengah berkuasa saat itu. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua negara sempat tegang gara-gara isu manusia perahu.
Kini Indonesia meniru kebijakan Push Back Australia. Korbannya adalah para pengungsi Rohingya asal Myanmar yang mencari keselamatan jiwa dan raga dari negeri kelahirannya.
Kalau Australia menerapkan kebijakan Push Back di perbatasan Australia-Indonesia, maka Indonesia menerapkan kebijakan serupa di perbatasannya dengan Malaysia.
Setiap ada perahu imigran gelap Rohingya yang menuju perairan Indonesia, maka seketika juga di- push back ke perairan negara ASEAN tersebut.
Memang pergantian rezim identik dengan pergantian kebijakan. Kebijakan rezim saat ini dalam urusan pengungsi seolah menjilat ludah dari kebijakan rezim sebelumnya.
Kalau dulu Australia dicap oleh Indonesia tidak manusiawi dengan kebijakan Push Back-nya, apakah sekarang kebijakan Push Back Jakarta dapat dikategorikan manusiawi?
Agar dapat berkelit dari kritik tersebut, jawaban paling ampuh sekaligus mencuci tangan adalah bahwa kebijakan Push Back selaras dengan kepentingan nasional
Indonesia.
Namun kemudian muncul lagi pertanyaan berikutnya, apakah kepentingan nasional selalu berubah seiring pergantian rezim pemerintahan? Wallahualam.
Tolak Kapal Rohingya Mendarat
Juru bicara Mabes TNI, Mayjen Fuad Basya, mengakui Indonesia telah meminta sebuah kapal pengungsi Rohingya yang berada di perairan Aceh untuk memutar arah dan tidak mendarat di wilayah Indonesia.
"Mereka itu masih berada di tengah laut dan kebijakan Panglima TNI (Jenderal Moeldoko) agar mereka yang masih berada di tengah laut untuk dicegat tidak masuk perairan Indonesia," jelas Fuad kepada wartawan, dilansir BBC.
Menurut Fuad kapal pengungsi itu berada sekitar 7-10 mil dari pantai Aceh. Sementara satu kapal pengungsi lainnya telah mendarat di pantai Aceh Utara pada hari yang sama Minggu (10/05), setelah diselamatkan oleh kapal nelayan.
Moeldoko: Urus Rakyat Sendiri Saja Tak Mudah
Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengatakan, Pemerintah Indonesia tak akan membiarkan wilayah lautnya dimasuki kapal-kapal pengungsi Rohingya. Menurut dia, bantuan kemanusiaan tetap akan diberikan kepada pengungsi yang terusir dari Myanmar tersebut, namun tetap melarang mereka masuk apalagi menepi di daratan Indonesia.
"Untuk suku Rohingya, sepanjang dia melintas Selat Malaka, kalau dia ada kesulitan di laut, maka wajib dibantu. Kalau ada sulit air atau makanan kami bantu, karena ini terkait human. Tapi kalau mereka masuki wilayah kita, maka tugas TNI untuk menjaga kedaulatan," ucap Moeldoko di Istana Kepresidenan, Jumat (15/5/2015).
Moeldoko menuturkan bantuan akan diberikan di tengah laut, sehingga kapal-kapal yang ditumpangi pengungsi Rohingnya tidak perlu memasuki wilayah teritori Indonesia. Patroli yang dilakukan oleh TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara juga akan dikerahkan untuk menjaga wilayah laut Indonesia tetap steril.
Menurut Moeldoko, langkah ini diambil lantaran keberadaan para pengungsi ilegal ini justru menimbulkan persoalan sosial.
"Urus masyarakat Indonesia sendiri saja tidak mudah, jangan lagi dibebani persoalan ini," ucap Moeldoko.
Saat ditanyakan bagaimana nasib para pengungsi Rohingya ini jika tak ada negara yang mau menampung, Moeldoko menolak berkomentar. Dia menuturkan hal tersebut adalah wewenang Kementerian Luar Negeri. TNI hanya bertugas agar menjaga wilayah laut Indonesia tidak dimasuki warga asing.
"Kalau kita buka akses, akan ada eksodus ke sini," ujar dia.
Sementara untuk pengungsi Rohingya yang sudah terlebih dulu diselamatkan oleh para nelayan di Aceh, Moeldoko menyatakan bahwa nantinya akan dibicarakan antara pemerintah kedua negara.
Suku Rohingya selama beberapa dekade telah menerima diskriminasi di Myanmar. Ditolak sebagai warga negara oleh Myanmar, suku yang sebagian besar muslim itu tidak memiliki status kewarnegaraan.
Menurut data PBB, Lebih dari 1,3 juta warga Rohingya, merupakan salah satu suku kecil paling teraniaya di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar